Rendra, "Sang Nabi" dalam Kepenyairan Indonesia - Ken Zuraida Hamid Dikemas 05/11/2003 oleh Editor Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata Petikan syair di atas adalah sebuah karya yang terbilang "abadi sepanjang masa" dari seorang anak bangsa, penyair dan budayawan besar Indonesia, yakni W.S. Rendra atau yang biasa disapa akrab dengan sebutan Mas Willy "Si Burung Merak". Dalam rangka HUT ke-2 Kota Batu, Malang, digelar pagelaran seni rakyat secara kolosal di lokasi Parkir Jatim Park, kaki Pegunungan Putri Tidur, 18 Oktober 2003 lalu. Acara gelar seni ini melibatkan seniman-seniman Kota Batu dan didukung oleh W.S. Rendra. Pada kesempatan itu, W.S. Rendra membacakan delapan buah sajaknya secara countinue. Gaya Rendra yang khas sangat memukau hingga membuat orang bergeming. Sajak-sajak yang dibacakan pada malam itu hampir semuanya sajak lawas: “Sajak Orang Tua di Bawah Pohon”, “Sajak Anak Muda”, “Sajak Orang Miskin”, “Sajak Kenalan Lamamu”, “Tentang Mata”, dan “Sajak Sebatang Lisong”. Dua sajak terbaru di antaranya “Jangan Takut Ibu” dengan setting peristiwa Mei '98 saat jatuhnya Rezim Soeharto dan “Kesaksian Akhir Abad”. Pagelaran yang bertajuk "Reportoar W.S. Rendra" tersebut menjadi langkah awal dan pemicu berkesenian di kota yang termasuk pada koordinat sejuk itu. Rendra sendiri merasa senang bisa hadir di tengah-tengah masyarakat Batu yang menurut penilaiannya secara pribadi merupakan masyarakat yang menghargai kebudayaan dan dinamis dalam berkesenian selain Solo, Yogya, dan Bali. Masyarakat Batu—dikenal dengan istilah Wong Mbatu—tampak antusias sekali menyaksikan malam gelar seni rakyat tersebut. Hadir juga malam itu kalangan pejabat Kota Batu: walikota dan jajaran teras, wakil rakyat (DPRD), serta dari Pemerintah Kodya Malang. Menjadi suatu hal yang menarik karena terjadi suatu kontradiksi di mana Rendra dengan sajak-sajaknya selalu menyentuh kehidupan lapisan "arus bawah" dan "menghantam" pihak atas yang memegang kekuasaan. Seperti kita ketahui, Rendra sendiri sejak dahulu menjadi simbol perlawanan terhadap orde baru. Jadi, terkesan sekali sikap "memihak" Rendra yang diterima oleh masyarakat bawah. Warga Batu dan sekitarnya yang hadir saat itu selalu bertepuk tangan ketika Rendra menyuarakan kata-kata yang membela sebagai dukungan perlawanan. Mirip orasi demonstrasi menentang kaum penguasa, sementara para pejabat yang hadir saat itu tersenyum kecut dibuatnya. Sebagai pembuka acara, Bapak Imam Kabul (walikota Batu) didaulat membacakan salah satu sajak "Si Burung Merak" yang berjudul “Dengan Kasih Sayang”, disambut sukacita oleh Wong Mbatu dari segenap lapisan masyarakat. "Saya senang kalau setiap tahun ada acara pagelaran seni yang besar seperti ini, biar Batu menjadi hidup," kata Andre, salah satu Wong Mbatu dan masih berstatus pelajar di SMU 1 Batu, Malang. Hal yang menggembirakan sekaligus menjadi suatu kebanggaan pula bagi Wong Mbatu adalah akan dilangsungkannya Festival Puisi Internasional (FPI) setiap tahun, tepatnya setiap 17 Oktober, berbarengan dengan momen lahirnya Kota Batu yang jatuh pada tanggal 20 Oktober. Sebagai penggagas dan perencana kegiatan tersebut, Mas Willy mengatakan, "Saya sangat gembira hal ini disetujui dan disambut hangat baik oleh pemerintah kota maupun Wong Mbatu sendiri". Lebih lanjut, Mas Willy berharap kegiatan ini dapat berdampak positif bagi Kota Batu, Malang, pada khususnya (sebagai kota wisata, pendidikan, dan kebudayaan), dan Indonesia pada umumnya. Di samping itu, diharapkan penyelenggaraan kegiatan ini dapat menghidupkan dunia seni-sastra-budaya. Negara-negara yang akan ikut serta pada FPI tahun 2004 mendatang, antara lain Irak, Afrika Selatan, Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat. Sementara itu, pihak panitia pelaksana "Guyub Seduluran", Lingkaran Komunikasi (Lingkom) yang bermarkas di Bale Petinggi, Batu, Malang, mengharapkan momentum seperti ini akan terus dilaksanakan setiap tahunnya. Berdasarkan keterangan Agus Herman, koordinator pelaksana menginformasikan bahwa pementasan ini sempat terganjal izin dari pihak berwajib, karena mereka menganggap Rendra adalah sosok yang berbahaya. "Belum ada ceritanya pementasan puisi itu menimbulkan tawuran massal seperti pementasan orkes dangdut," papar Herman. Dengan penjelasan yang kongkrit akhirnya izin bisa tembus. Dari kejadian ini muncul pertanyaan di benak kita. Lebih berbahaya mana W.S. Rendra dengan seorang pejabat yang koruptor atau preman yang menjadi pejabat? Sang Nabi? Seperti padi, semakin berisi semakin merunduk. Seorang W.S. Rendra mengalami perkembangan jiwa. Saat ini tidak ada lagi seorang W.S. Rendra yang "liar". Namun, keberaniannya dalam mencipta sebuah karya masih tetap melekat kuat dalam dirinya. Acapkali, Rendra dalam bertutur senantiasa menyebut Sang Pencipta "Gusti Kang Murbehing Dumadi". Kedalaman jiwanya dan perenungan-perenungannya semakin terasah tajam. Bentuk-bentuk komunikasi transenden sebagai perpektif dalam mengkritisi dan merenungi gejala alam membuat karya-karya Mas Willy terasa religius. Proses melihat, merasa, dan menggambarkan setiap gejala alam selalu diawali dengan proses Illahiyah terlebih dahulu sehingga menghasilkan suatu karya yang tajam, peka, dan benar-benar menyentuh lapisan bawah. Pengasahan-pengasahan yang terus-menerus dengan melalui banyak media membuat dirinya semakin dekat dan membuat dirinya menjadi hamba Tuhan yang terbaik. Lafal-lafal sajak yang bernilai religius, tetapi tetap menggugat, dapat disimak pada petikan sajak berikut ini: ..o, tikar tafakur o, bau sungai yang tahan kotor bagaimana aku bisa membaca keadaan ini... Proses menempa memang tidak boleh berhenti, sebagaimana menteladani sikap para nabi. Tanpa disadari, Rendra telah menyublim menjadi seorang nabi melalui karya-karyanya yang membawa pesan-pesan moral, bentuk-bentuk kemanusiaan, dan membela keadilan dan kaum lemah, miskin-papa. Berikut Petikan "Kesaksian Akhir Abad" (2000): negara tak mungkin kembali diutuhkan tanpa rakyatnya dimanusiakan dan manusia tak mungkin menjadi manusia tanpa dihidupkan hati nuraninya hati nurani adalah hakim adil untuk diri kita sendiri hati nurani adalah sendi dari kesadaran akan kemerdekaan pribadi Dengan puisi ini aku bersaksi bahwa hati nurani itu mesti dibakar tidak bisa menjadi abu hati nurani senantiasa bisa bersemi meski sudah ditebang putus di batang begitulah fitra manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Saat ditanya apa yang ingin dicapai saat ini, dengan tawadhu dan takzim Rendra menjawab, "Saya ingin sekali menjadi hamba Allah s.w.t. yang baik, dan saya sangat ingin selalu diberi-Nya jalan yang terbaik dalam hidup ini." Lalu, dengan mata yang berkaca-kaca, Rendra mengemukakan harapannya, “Semoga Allah s.w.t. mendengar pinta saya ini!" Penyair Muda Usia boleh tua, tetapi pengalaman patut dicoba. Itulah Rendra yang tampak masih kuat dan sehat. Suaranya masih tetap menggelegar dan penuh kharismatik. Panggung dan kekuatan sajak-sajaknya yang sangat mendukung, begitu menyatu dalam dirinya. Dapat dikatakan bahwa ketiganya merupakan "persenyawaan" yang sempurna. Lelaki yang lahir di Solo, 7 November 1935 ini sangat menghargai kehadiran penyair-penyair muda. Menurut dia, bermunculannya penyair muda itu merupakan wujud regenerasi sehingga akan ada pengganti yang tua-tua. Bibit-bibit baru itu diharapkan Rendra akan memperkaya dunia seni-sastra dan budaya, khususnya dalam ruh-kepenyairan atau perpuisian dewasa ini yang senantiasa berkembang terus mengikuti tuntutan zaman. Rendra sendiri salah seorang tokoh penyair Indonesia di Abad ke-20 dan tetap besar di Abad ke-21. Ia telah menghasilkan karya dalam jumlah tak terhitung, di antaranya “Alfaria Zaitun”, “Rick dari Corona”, “Kotbah”, dan “Kasidah Barzanji”. Antologi perdananya adalah Balada Orang-orang Tercinta (1957). Karena sajak-sajaknya yang keras menantang kekuasaan, Rendra pun pernah ditahan. Sampai dengan saat ini Rendra tetap berkarya, tidak akan berhenti meski usia senja mulai mengintainya. Hanya saja, penyair yang bernama lengkap Willibrordus Surendra Rendra ini menyayangkan karena penyair-penyair muda saat ini kebanyakan menggunakan permainan kata-kata saja, dalam artian tidak tajam dalam menunjukkan suatu hal yang berhubungan dengan kenyataan. "Saya sedikit heran, mengapa anak-anak muda sekarang hanya menguasai permainan kata-kata saja? Tidak begitu dalam membuat syair atau puisi," tuturnya. Ditambahkan, “Seorang penyair yang baik itu harus bisa membersihkan qolbu agar bisa menggambarkan suatu kenyataan." Qolbu yang dimaksudkan dalam hal ini adalah hati yang bersih dan penuh kejujuran. Naluri yang tajam akan menghasilkan kata-kata dan makna yang tajam pula. Rendra melanjutkan, "Dalam membuat suatu karya sastra, puisi atau sajak, jika terlalu menitik beratkan pada permainan kata-kata, secara tidak langsung telah melakukan bahasa yang korup. Jadi, tidak hanya pemerintah atau pejabat yang dapat dikatakan "korup", sastrawan dan penyair pun juga demikian." Dapat dikatakan bahwa dalam proses kreatif menghasilkan suatu karya cipta berupa puisi maupun sajak dibutuhkan suatu ketekunan dalam pengamatan, pencernaan, dan penalaran. Puisi dan sajak tidak dihasilkan hanya dengan duduk dan membayangkan. Ini adalah "nol besar". Seorang penyair harus bisa merasa dan meraba, mencermati langsung, kemudian menuangkan penjabarannya dalam bentuk yang sedetail-detailnya akan sesuatu yang diamatinya sehingga akan terasa hidup, utuh. Dengan sendirinya, bahasa yang keluar, berupa metafora-metafora, akan kuat dan ini pun harus selalu diasah. Hampir sebagian besar karya Rendra (yang hingga saat ini belum bisa menentukan mana karya-karyanya yang terbaik) bernuansakan humaniora, idealismenya dalam menyuarakan kenyataan keseharian dalam balutan bahasa-bahasa "kemanusiaan", seperti keadilan sosial, kemelaratan, dan kepicikan adalah suatu proses yang tidak terhenti darinya. Hal tersebut menjadikan karya-karyanya diterima masyarakat luas, universal, baik di Indonesia maupun di dunia. --------------------- *) Ken Zuraida Hamid, penyair, alumnus Universitas Muhammadiyah Malang, tinggal di Malang